Hari itu merupakan hari pertama Masa Orientasi Sekolah di SMA-ku, yang juga merupakan hari pertamaku di SMA. Suasana begitu ramai. Aku bertemu banyak orang yang tidak kukenal sebelumnya. Terang saja, aku belum mengenal siapa-siapa. Baru seminggu aku pindah ke Bogor dari Amerika Serikat. Aku merasa perlu tambahan waktu untuk beradaptasi, sayangnya sekolah harus dimulai secepat ini.
Lalu aku melihat seorang lelaki berjalan tepat di depanku. Entah mengapa, aku terperangah. Melihatnya, aku seperti mengalami déja vu. Aku seperti kembali dibawa ke masa lalu, padahal aku tidak mengenalnya. Kuperhatikan wajahnya. Ia tidak tampan, biasa saja. Namun wajahnya menentramkan hati. Badannya cukup atletis untuk ukuran anak SMA, tinggi, tidak gemuk, namun tidak pula kurus. Dan yang paling menarik perhatianku adalah matanya.
Matanya bulat dan jernih. Mata paling indah yang pernah kulihat. Bulu matanya cukup lentik untuk ukuran laki-laki. Ia seperti punya gaya magnet yang menarikku masuk ke dalam medannya. Seketika, pandangan kami bertemu, dan ia tersenyum kepadaku. Senyumnya hangat, sungguh hangat. Senyum itu amat familier, seperti sudah kukenal selama bertahun-tahun. Buru-buru kubalas senyumnya. Aku langsung salah tingkah. Kurasakan wajahku merona.
“Hei, Linda! Jangan melamun!” seseorang menyapaku dari belakang.
“Eh, iya maaf. Aduh kamu ngagetin aja!” Aku terkejut, sedikit salah tingkah karena kepergok sedang melihat cowok aneh itu.
“Ayoooo ngeliat siapa?” Kirana, temanku itu terus menggodaku.
“Hahahaha ga penting, lupakan aja. Mendingan kita cepet masuk kelas kalo ga mau dimarahin kakak kelas.” Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. Dan kami pun masuk ke dalam kelas, meninggalkan pikiranku yang masih melayang ke arah cowok aneh itu.
****
Waktu pun berlalu begitu cepat. Tidak terasa 3 bulan berlalu. Namun rasa penasaranku akan laki-laki itu tidak juga hilang. Setelah beberapa minggu bersekolah, akhirnya aku mengetahui nama laki-laki itu. Namanya Ranu, dan kelasnya hanya berselang 1 kelas dari kelasku. Selama 3 bulan, kami tidak pernah berkenalan, namun anehnya kami selalu saling tersenyum ketika bertemu. Entah dia sudah tahu namaku atau belum. Mungkin dia tahu namaku dari temannya yang selalu memandang kami dengan tatapan ingin tahu ketika kami saling tersenyum. Entah, aku tak peduli.
“Linda, kamu kenal Ranu?” Tanya Kirana, sahabat baruku di Bogor ingin tahu.
“Nggak, bahkan bertemu sebelum masuk SMA pun sepertinya ga pernah.” Jawabku aku sendiri bingung dengan semuanya.
“Kamu suka dia?” Kirana makin mendesak ingin tahu
Aku terkejut mendegar pertanyaannya. Bagaimana bisa aku suka dia? Padahal kenal aja nggak. “Kamu ngigo ya? Hahahaha ga lah! Aku tidak kenal dia. Bagaimana mungkin?”
“Kamu memandang dia dengan pandangan berbeda. Pandangan yang ga bisa dimengerti orang lain.” Kirana menjelaskan padaku, memandangku serius.
“Entahlah.. aku juga ga ngerti. Semuanya seperti déja vu. Aku seperti familiar dengan mukanya. Tapi aku tidak dapat ingat... rasanya aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya...”
“Mmmmmm whahahahaha asiiiik bisa jadi gossip baru nih!” Kirana malah loncat-loncat kegirangan.
“Heh, kamu mah asaaaaal! Hahahaha sudahah lupain aja. Ga penting kok.” Aku menyudahi pembicaraan, berniat menyimpan déjà vu-ku pada Ranu sendirian.
****
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Saat itu, aku baru selesai mengikuti rapat kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan sejak sepulang sekolah. Ah sial, padahal tadi pagi ibuku sudah menyuruhku membawa payung, dan sayangnya nasihat itu tidak kuturuti. Terpaksa aku menunggu hujan reda di teras sekolah. Ah, suara hujan memang menentramkan hati. Dulu, ketika aku masih tinggal di New York, aku biasa menikmati hujan sambil membaca buku di Coffee Shop favoritku. Aaaaah seandainya ada coffee shop senyaman itu di Bogor. Pikiranku melayang kepada Ranu, si mesterius itu. Setahuku, tadi ia masih di sekolah, aku melihatnya ketika hendak sholat di Mushola.
Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang.
“Butuh payung?” Ujar suara lembut itu. Rasanya aku kenal suara laki-laki ini. Spontan kubalikkan tubuhku ke belakang. Dan ia ada di sana. Seorang Ranu tersenyum padaku.
“Eh, iya… loh kok? Kamu ada di sini?” Aku terperangah kaget.
“Hehehehe entahlah… saya hanya mengikuti hujan mengalir.” Ia berkata tenang
“Hmm… apa ini yang namanya kebetulan?”
Ia terdiam sebentar, lalu berkata, “Saya percaya bahwa segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan, Kalinda. Jadi ga ada yang namanya kebetulan.”
Aku speechless, bingung mau berkata apa, “Oh iya, kok kamu tau namaku? Kita kan belum pernah kenalan hehehehe.”
“Kamu perlu perkenalan formal lagi? hahaha kamu lucu, Kalinda. Oke, saya Karan Ranu Azurea, biasa dipanggil Ranu. Kamu?” Ia tertawa geli.
“Huuuh dasar, aku Kalinda Zahra Aruna, biasa dipanggil Linda.”
“Hmmmm… saya lebih suka manggil kamu Kalinda. Lebih enak aja kedengerannya hehehe. Oh iya, gimana kalau kita sambil jalan aja?”
“Mmmmmm ayo..”
Dan kami pun berjalan membelah hujan. Rintikan hujan seperti bernyanyi untuk kami. Sepanjang jalan, Ranu selalu bertanya padaku akan hal-hal kecil seperti apa hobiku, kapan ulang tahunku, di mana aku tinggal, berapa nomor hand phone-ku atau musik apa yang aku suka. Aku pun akhirnya balas bertanya padanya, dan ternyata kami sama-sama suka mendengarkan The Fray, Lifehouse, Snow Patrol, dan juga John Mayer. Kami sama-sama sepakat bahwa lagu paling sweet yang pernah kami dengar adalah ‘You and Me’ -nya Lifehouse. Dan lagu yang liriknya paling dalam adalah ‘Ungodly Hour’ -nya The Fray. Waw, how can I not call it as a coincidence?
“Ngobrol sama kamu rasanya familer banget, Ranu. Seperti udah kenal selama bertahun-tahun.” Kataku spontan, begitu menikmati obrolan kami.
“Hahahaha... Saya juga ngerasa gitu, Kalinda.”
“Hei Ranu, kamu biasa ngomong pake saya-kamu yah?” Tanyaku penasaran.
“Hmmm… tergantung sama siapa. Memang kenapa? Kamu ga suka?”
“Ga papa kok, tapi saya ga biasa aja.” Akhirnya aku ikut-ikutan ngomong pakai saya-kamu.
“Hahahaha… kalau kamu ga nyaman, bilang aja oke?” Katanya, mengedipkan sebelah matanya.
“Hahaha, norak! Oh iya, ada 1 hal yang mengganjal pikiran saya beberapa bulan ini. Kenapa ya, saya selalu mendapat déjà vu kalo ngeliat kamu? Kamu terlihat begitu familier buat saya…”
Ia terdiam sebentar, Nampak berpikir. Tak lama kemudian, ia kembali tersenyum, “Saya juga begitu, Kalinda. Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Entahlah.. tapi saya rasa ngga. Masa kita ketemu di mimpi?” Jawabku asal.
“Mungkin saja…” Ia menjawab sambil tersenyum misterius.
Mendegar jawabannya, aku jadi termenung sendiri juga. Apakah mungkin, kami pernah bertemu dalam mimpi? “Kamu tahu? Saya sering bermimpi aneh…”
“Seperti telepati?” Sambungnya, seperti bisa membaca pikiranku.
“Ya, kurang lebih begitu… kamu juga?”
“Ya, sering sekali. Dan setiap saya bermimpi seperti itu, selalu ada hujan di dalamnya..”
“Hujan? Aneh sekali…” Aku terheran-heran. Ahhhhh… lelaki ini memang aneh.
“Ya, mungkin karena itu saya selalu déjà vu setiap melihat kamu.” Katanya misterius.
“Mmmmm… apa hubungannya sama saya?”
“Mungkin, hujan saya itu adalah kamu hahahahaha… jawaban yang cukup asal.” Katanya sambil tertawa.
“Hei saya serius!” Aku mulai penasaran.
Ia cuma tersnyum, “Hahahaha, lupakan saja, oke?”
Ah, Ranu memang sebuah enigma. Ia adalah 1 set teka-teki yang tak berujung. Menunggu minta dipecahkan. Namun sulit sekali dimintai petunjuk. Anehnya, teka-teki itu selalu membuatku penasaran. Dan sepertinya rasa penasaran itu tak kunjung mau habis. “Jangan buat saya penasaran doooong! Ah kamu itu. Oh iya, mau naik angkot kapan, Ranu? Hehehehe.” Tiba-tiba aku tersadar bahwa dari tadi kami hanya berjalan dan belum juga naik angkot.
Ranu tersenyum lalu menutup payung. “Oh iya, saya sampai lupa. Kamu membuat saya hanyut, Kalinda.” Lagi-lagi ia membuat wajahku merona, seperti yang ia lakukan di hari pertama MOS itu.
Hujan telah berubah menjadi gerimis ketika akhirnya kami duduk di dalam angkot. Lagi, kami mengobrol tentang hal-hal kecil. Aku menceritakan masa laluku di New York dulu, dan ia menceritakan masa SMP-nya dulu. Aku juga memberitahunya betapa aku rindu New York, ketika akhirnya ia berkata, “Kalau kamu ga pindah, mungkin kita Cuma bisa bertemu dalam mimpi, Kalinda.”
“Kenapa kamu yakin banget sama mimpi itu, Ranu?”
“Karena saya tahu kamu juga mengalaminya. Kamu hanya tidak sadar.” Ah, teka-teki lain lagi…
“Kamu itu enigmatis, Ranu.” Kataku pada akhirnya, jengkel.
“Well, I am.” Ia terseyum senang, seperti merasa bangga.
Waktu pun mengalir, tak terasa sebentar lagi aku harus turun. Rumah Ranu lebih jauh, jadi ia masih harus melanjutkan perjalanan. Mengobrol dengannya benar-benar menyenangkan. Aku seperti telah mengenalnya bertahun-tahun. Aku benar-benar masuk dalam medan magnetnya, “Ah, sebentar lagi saya harus turun.” Ujarku.
“Ya, aku tahu. Oh iya, Kalinda. Dalam mimpiku, hujan itu tersenyum. Apa dalam mimpimu juga?” Ranu mulai mengajakku main tebak-tebakan lagi.
“AAAAAAAAAAAAA jangan mengajakku main tebak-tebakan terus, Ranu!” Aku jengkel.
“Hahahahaha baiklah, Kalinda. Tuh, sebentar lagi kamu harus turun, kan? Hati-hati yah?”
“Huh, iya iya. Kamu juga ya?” mau tak mau, aku tersenyum pada akhirnya.
“Hehehehe… iya. Tuh kan, tersenyum juga.” Balasnya.
“Ya, aku duluan ya..”
Bersamaan dengan itu aku turun dari angkot. Ranu tersenyum ke arahku dari dalam angkot. Ketika itu, hujan benar-benar telah berhenti. Meninggalkan langit biru yang tak berbatas. Tiba-tiba, kurasakan telepon selularku bergetar. Kulihat layarnya, ternyata dari Ranu.
Kalinda, lihatlah ke atas. Dan temukan keajaiban hujan.
Ranu
Aku menengadahkan kepalaku ke arah langit. And he was right. Di langit ada pelangi. Indah sekali. Ah, lagi-lagi, another surprise from him. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Déjà vu, lagi. Aku teringat akan mimpiku ketika masih di New York. Dalam mimpi itu, kejadiannya persis seperti ini. Aku bertemu seorang laki-laki, dan ia memperlihatkanku pada keajaiban hujan. Dan aku tahu siapa laki-laki itu. Ia Ranu.
Hehehe… indah sekali, Ranu. Ah, akhirnya saya ingat. Hujan itu memang tersenyum pada akhirnya, Ranu. Dan saat ini, langit begitu biru.. saya harap kamu ada di sini.
Aku membalas SMS Ranu, termenung di tepi jalan. Rasanya kaki menolak untuk kugerakkan, ingin ikut menikmati pelangi yang tersenyum di langit. HP-ku bergetar lagi.
Yeah, the sky is really blue right now. And you know what? Blue is my last name hehehe. Anggaplah saya itu birunya langit. Selamat menikmati senyuman hujan, Kalinda.
Ya, senyuman hujan memang selalu luar biasa. Keajaiban yang tak akan pernah lenyap.
Terima kasih, Ranu. Saya juga lihat itu. Hati-hati di jalan, yah? :)
Kakiku tiba-tiba terasa ringan, karena aku tahu bahwa Ranu selalu ada dalam birunya langit.
Dan akupun tersenyum bersama hujan, melanjutkan perjalanan menuju rumahku.
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar