Kamis, 31 Desember 2009

firasat

sejak pertama saya menginjak buminya,
saya dapat firasat
bahwa saya tidak bisa lewat
dan hari ini Tuhan membuktikannya
tak apa, saya baik-baik saja
firasat itu benar

Selasa, 29 Desember 2009

saat pesimisme hinggap

ketika saya menulis entri ini, sebenarnya saya sedang emotivasi diri sendiri
bahwa sesungguhnya, apapun yang terjadi, semua orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, begitu pula saya
dan saya tidak perlu kecewa ataupun menyesal
karena Tuhan selalu merencanakan yang terbaik buat saya
jika Tuhan mau saya tetap di sini, maka saya akan tinggal di sini
jika Tuhan mau saya pergi, saya akan pergi kok, bagaimana pun caranya

tunggu, bersabar
jika tidak juga mendapatkan itu,
bersyukur saja :)

huaaaaah bismillah, pray for the best
but prepare for the worst


semangat, mumtaz! :D

surat untuk kehidupan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Halo, hidup, apa kabar? Rasanya akhir-akhir ini kamu jadi sedikit lebih keras... benarkah saya? atau itu cuma perasaan saya? kamu tahu, belakangan ini kelenjar air mata saya jadi lebih aktif, mood saya juga jadi lebih fluktuatif. saya yakin ini buruk bagi kamu. saat ini, sesungguhnya saya hanya ingin memulai percakapan dengan kamu. karena sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bercakap-cakap.

kadang, saya merasa ingin kembali pada bagianmu yang telah lewat. kenangan membuat saya jadi seperti itu. namun hingga kini ternyata mesin waktu belum juga menemui eksistensinya. dan kamu juga terus berputar bagai roda yang tak kenal ampun. di saat seperti itu, saya harus kembali meyakinkan diri bahwa kamu selalu dan akan selalu adil. Tuhan telah merencanakan wujudmu sedemikian rupa, dan saya yakin bahwa Tuhan Mahatahu. saya ingin terus meyakininya...

kamu merupakan enigma terbesar, saya tak pernah tahu ujungmu. ah, tidak, tidak, saya tahu ujung kamu: kematian. ya, sobatmu itulah yang akan menjadi ujungmu. saya hanya tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana saya akan menjumpai teman akrabmu itu. tapi... bukankah setelah saya bertemu dengan kematian, saya akan kembali menjumpaimu dengan wujud yang berbeda? hingga saat itu tiba, saya ingin banyak-banyak berbuat kebaikan, sehingga wujudmu akan jadi amat menyenangkan dan memberi saya kebahagiaan.

namun saya yakin, di balik enigma super hebatmu, kamu sebenarnya menyimpan segala jawaban. mungkin saya hanya belum siap mengetahuinya. sampai saat itu tiba, tolong bantu saya menyiapkan diri. bantu saya agar jadi lebih kuat. tempa hati saya agar tak mudah rapuh. kritisi pemikiran saya agar tak jadi orang bodoh. sampai saya siap untuk tahu, dan maju....

buat saya, karunia terbesar yang pernah Tuhan berikan pada saya adalah kamu. berkat kamu, saya bertemu berbagai macam orang. mereka semua hebat dengan cara mereka sendiri, kamu telah mengajarkan saya hal itu. beberapa dari mereka pergi, beberapa dari mereka tak lagi sama. atau.... mungkin mereka semua berubah? namun mereka bergerak ke arah yang berbeda-beda, ada yang negatif, dan ada yang positif. ya, kamu mengubah mereka, seperti kamu mengubah saya. kamu juga berubah, saya yang mengubah kamu, juga orang-orang hebat yang saya temui. perubahan kita berbanding lurus, bukan?

kamu adalah sebuah jalan yang berliku, kadang menanjak, kadang menurun, kadang juga datar. kadang berbatu, kadang mulus seperti baru diaspal. kamu mengajarkan saya bahwa kamu bukanlah sesuatu yang patut dilawan, saya seharusnya mengalir, dengan terus meminta bantuan Tuhan. seberat apapun kamu, sekeras apapun pelajaran yang kamu berikan, Tuhan tahu itu yang terbaik buat saya.

sekian sajalah, hidup. semoga kita mendapat kesempatan untuk kembali bercakap-cakap.
sampai jumpa!



dan terima kasih banyak :)

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

kala hujan terus mengalir

New York, 14 Oktober 2009

Sebuah malam yang dingin di musim gugur. Jam menunjukkan pukul 00.15, dan mata saya masih menolak untuk menutup. Malam ini hujan turun rintik-rintik, mengingatkan saya akan bayangan seseorang. Dengan senyum yang selalu mengembang tanpa lelah. Kadang bayangan itu menekuk bibir untuk menunjukkan kekesalan. Dan kadang sekali, kelenjar air matanya tak kuat bertahan. Namun entah mengapa itu semua tak pernah membuat saya bosan. Ya, cuma bayangan kamu yang ada di kepala saya. Bayangan yang sudah 6 bulan lamanya tak jadi nyata, meninggalkan 1 rasa yang tidak mau hilang.

6 bulan sudah sejak kepindahan saya ke New York. 6 bulan sejak kamu dan teman-teman lain mengantar saya ke bandara. 6 bulan sejak terakhir kali saya melihat kamu mati-matian menahan tangis dan tersenyum buat saya. 6 bulan sejak pertama kali saya mengacak rambut kamu. 6 bulan. Dan saya belum menemukan sahabat sebaik kamu di sini. Ya, saya tahu kamu lebih dari sahabat. Kamu itu seperti soulmate saya. Kita ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Yah, namun jika kata ‘soulmate’ terdengar berlebihan, anggap saja kamu ‘sahabat’ saya. Saya tidak merasa kita perlu ikatan, bahkan pengakuan, untuk tahu perasaan masing-masing. Saya takut ikatan hanya akan membuat semua jadi buruk. Dan kamu nampaknya sependapat akan hal ini.

Namun kali ini saya jadi egois. Saya ingin ikatan, untuk sekedar menuntut dan meminta lebih. Sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang sahabat. Amplitudo kita besar. Saya perlu menempuh jarak beribu mil dan memerlukan waktu belasan jam untuk mencapai kamu. Begitu pula kamu. Dan saya tidak tahu kapan amplitudo itu akan mengecil. Entah 6 bulan lagi, 1 tahun lagi, 3 tahun lagi, belasan tahun lagi, puluhan tahun lagi, atau mungkin tidak sama sekali. Dan itu menyiksa saya perlahan. Entah kamu juga merasakan ini atau tidak.

Seminggu penuh ini terasa betul amplitudo yang besar itu. Kamu tidak memberi saya kabar sedikit pun. Tidak sms, tidak e-mail, apalagi telepon. Saya mencoba mengerti kesibukan dan berbagai aktivitas yang kamu geluti, namun tidak adakah secuil waktu buat saya? Ah, kamu sahabat saya. Saya sahabat kamu. Dan sahabat yang baik tidak menuntut. Oke. Saya mengerti.

Tik tik tik tik tik…..

Hujan terus turun, membasahi setiap jengkal memori saya. Saya ingin kembali. Untuk pertama kalinya selama 6 bulan ini saya benar-benar merasa ingin kembali. Kepada kamu. Kepada teman-teman yang lain. Kepada kehidupan saya yang lama. Di mana semua tidak pernah terasa sesulit ini. Namun saya selalu tahu bahwa mesin waktu tidak —atau mungkin belum— eksis. Maka saya hanya bisa terus berjalan, tanpa kembali pada bayangan. Saya kembali mengalihkan pandangan menuju jam. 01.13. Ah, larut sekali, dan saya tak juga menemukan keinginan untuk tidur. Iseng, saya menyalakan laptop. Berniat pergi ke dunia dimana waktu dan jarak tidak akan menjadi pembatas semu.

Saya buka program Yahoo! Messenger, mencoba menemukan sebaris kata yang bisa membasuh hati. Namun kalinda_aruna, kata yang saya cari itu tak juga muncul. Ah, di sana sekarang sudah pukul 1 siang. Pantas saja jika kamu kembali menggeluti aktivitas gilamu. Mata saya terus terpaku pada layar laptop. Terus mengembangkan ekspesktasi yang makin lama makin menggila. Hingga akhirnya ekspektasi itu menemui akhirnya. Ya, muncullah sebaris kata itu.

kalinda_aruna: hei, hujan!
karan_ranu: sombong hahahaha
kalinda_aruna: hehehe maaf, saya hanya kabur sejenak, Ranu. Menggila dengan berbagai kesibukan.
karan_ranu: ya, gapapa kok. saya kangen...

Akhirnya ekspektasi saya terbayar, kamu akhirnya muncul. Bayangan itu perlahan jadi nyata, walau masih setengah semu. Ah, menunggu balasanmu saja rasanya menyebalkan!

kalinda_aruna: saya juga :)

Lihat? Cuma 2 kata itu yang saya tunggu dari kamu. Semudah itu, sesederhana itu, sesingkat itu saja. Saya tidak perlu sesuatu yang rumit. 2 kata itu mampu menjungkirbalikkan mood saya yang super jelek. Kali ini saya benar – benar merasa amplitudo itu mengecil perlahan. Meninggalkan sejengkal jarak yang sementara ini tak bisa hilang. Jarak yang saya yakin akan kembali hilang, entah kapan. Dan saya tahu bahwa kamu juga menunggu terjadinya hal itu.

karan_ranu: Kal, di sini hujan terus turun. Dia ga mau berhenti mengalir.
kalinda_aruna: di sini juga gitu kok. Mungkin nantinya hujan ini berujung di tempat yang sama?

Ya, mungkin hujan ini nantinya berujung di tempat yang sama. Saya akan membiarkan hujan itu terus turun, dan tidak berhenti mengalir. Setidaknya untuk saat ini.

Dan itu lebih dari cukup untuk saya.....


Bogor, 14 November 2009. malam di mana hujan turun dan berhenti.

senyuman hujan

Hari itu merupakan hari pertama Masa Orientasi Sekolah di SMA-ku, yang juga merupakan hari pertamaku di SMA. Suasana begitu ramai. Aku bertemu banyak orang yang tidak kukenal sebelumnya. Terang saja, aku belum mengenal siapa-siapa. Baru seminggu aku pindah ke Bogor dari Amerika Serikat. Aku merasa perlu tambahan waktu untuk beradaptasi, sayangnya sekolah harus dimulai secepat ini.

Lalu aku melihat seorang lelaki berjalan tepat di depanku. Entah mengapa, aku terperangah. Melihatnya, aku seperti mengalami déja vu. Aku seperti kembali dibawa ke masa lalu, padahal aku tidak mengenalnya. Kuperhatikan wajahnya. Ia tidak tampan, biasa saja. Namun wajahnya menentramkan hati. Badannya cukup atletis untuk ukuran anak SMA, tinggi, tidak gemuk, namun tidak pula kurus. Dan yang paling menarik perhatianku adalah matanya.

Matanya bulat dan jernih. Mata paling indah yang pernah kulihat. Bulu matanya cukup lentik untuk ukuran laki-laki. Ia seperti punya gaya magnet yang menarikku masuk ke dalam medannya. Seketika, pandangan kami bertemu, dan ia tersenyum kepadaku. Senyumnya hangat, sungguh hangat. Senyum itu amat familier, seperti sudah kukenal selama bertahun-tahun. Buru-buru kubalas senyumnya. Aku langsung salah tingkah. Kurasakan wajahku merona.

“Hei, Linda! Jangan melamun!” seseorang menyapaku dari belakang.
“Eh, iya maaf. Aduh kamu ngagetin aja!” Aku terkejut, sedikit salah tingkah karena kepergok sedang melihat cowok aneh itu.
“Ayoooo ngeliat siapa?” Kirana, temanku itu terus menggodaku.
“Hahahaha ga penting, lupakan aja. Mendingan kita cepet masuk kelas kalo ga mau dimarahin kakak kelas.” Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan. Dan kami pun masuk ke dalam kelas, meninggalkan pikiranku yang masih melayang ke arah cowok aneh itu.

****

Waktu pun berlalu begitu cepat. Tidak terasa 3 bulan berlalu. Namun rasa penasaranku akan laki-laki itu tidak juga hilang. Setelah beberapa minggu bersekolah, akhirnya aku mengetahui nama laki-laki itu. Namanya Ranu, dan kelasnya hanya berselang 1 kelas dari kelasku. Selama 3 bulan, kami tidak pernah berkenalan, namun anehnya kami selalu saling tersenyum ketika bertemu. Entah dia sudah tahu namaku atau belum. Mungkin dia tahu namaku dari temannya yang selalu memandang kami dengan tatapan ingin tahu ketika kami saling tersenyum. Entah, aku tak peduli.

“Linda, kamu kenal Ranu?” Tanya Kirana, sahabat baruku di Bogor ingin tahu.
“Nggak, bahkan bertemu sebelum masuk SMA pun sepertinya ga pernah.” Jawabku aku sendiri bingung dengan semuanya.
“Kamu suka dia?” Kirana makin mendesak ingin tahu
Aku terkejut mendegar pertanyaannya. Bagaimana bisa aku suka dia? Padahal kenal aja nggak. “Kamu ngigo ya? Hahahaha ga lah! Aku tidak kenal dia. Bagaimana mungkin?”

“Kamu memandang dia dengan pandangan berbeda. Pandangan yang ga bisa dimengerti orang lain.” Kirana menjelaskan padaku, memandangku serius.
“Entahlah.. aku juga ga ngerti. Semuanya seperti déja vu. Aku seperti familiar dengan mukanya. Tapi aku tidak dapat ingat... rasanya aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya...”
“Mmmmmm whahahahaha asiiiik bisa jadi gossip baru nih!” Kirana malah loncat-loncat kegirangan.
“Heh, kamu mah asaaaaal! Hahahaha sudahah lupain aja. Ga penting kok.” Aku menyudahi pembicaraan, berniat menyimpan déjà vu-ku pada Ranu sendirian.

****

Sore itu hujan turun dengan derasnya. Saat itu, aku baru selesai mengikuti rapat kegiatan ekstrakulikuler yang diadakan sejak sepulang sekolah. Ah sial, padahal tadi pagi ibuku sudah menyuruhku membawa payung, dan sayangnya nasihat itu tidak kuturuti. Terpaksa aku menunggu hujan reda di teras sekolah. Ah, suara hujan memang menentramkan hati. Dulu, ketika aku masih tinggal di New York, aku biasa menikmati hujan sambil membaca buku di Coffee Shop favoritku. Aaaaah seandainya ada coffee shop senyaman itu di Bogor. Pikiranku melayang kepada Ranu, si mesterius itu. Setahuku, tadi ia masih di sekolah, aku melihatnya ketika hendak sholat di Mushola.

Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku dari belakang.
“Butuh payung?” Ujar suara lembut itu. Rasanya aku kenal suara laki-laki ini. Spontan kubalikkan tubuhku ke belakang. Dan ia ada di sana. Seorang Ranu tersenyum padaku.
“Eh, iya… loh kok? Kamu ada di sini?” Aku terperangah kaget.
“Hehehehe entahlah… saya hanya mengikuti hujan mengalir.” Ia berkata tenang
“Hmm… apa ini yang namanya kebetulan?”
Ia terdiam sebentar, lalu berkata, “Saya percaya bahwa segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan, Kalinda. Jadi ga ada yang namanya kebetulan.”

Aku speechless, bingung mau berkata apa, “Oh iya, kok kamu tau namaku? Kita kan belum pernah kenalan hehehehe.”
“Kamu perlu perkenalan formal lagi? hahaha kamu lucu, Kalinda. Oke, saya Karan Ranu Azurea, biasa dipanggil Ranu. Kamu?” Ia tertawa geli.
“Huuuh dasar, aku Kalinda Zahra Aruna, biasa dipanggil Linda.”
“Hmmmm… saya lebih suka manggil kamu Kalinda. Lebih enak aja kedengerannya hehehe. Oh iya, gimana kalau kita sambil jalan aja?”
“Mmmmmm ayo..”

Dan kami pun berjalan membelah hujan. Rintikan hujan seperti bernyanyi untuk kami. Sepanjang jalan, Ranu selalu bertanya padaku akan hal-hal kecil seperti apa hobiku, kapan ulang tahunku, di mana aku tinggal, berapa nomor hand phone-ku atau musik apa yang aku suka. Aku pun akhirnya balas bertanya padanya, dan ternyata kami sama-sama suka mendengarkan The Fray, Lifehouse, Snow Patrol, dan juga John Mayer. Kami sama-sama sepakat bahwa lagu paling sweet yang pernah kami dengar adalah ‘You and Me’ -nya Lifehouse. Dan lagu yang liriknya paling dalam adalah ‘Ungodly Hour’ -nya The Fray. Waw, how can I not call it as a coincidence?

“Ngobrol sama kamu rasanya familer banget, Ranu. Seperti udah kenal selama bertahun-tahun.” Kataku spontan, begitu menikmati obrolan kami.
“Hahahaha... Saya juga ngerasa gitu, Kalinda.”
“Hei Ranu, kamu biasa ngomong pake saya-kamu yah?” Tanyaku penasaran.
“Hmmm… tergantung sama siapa. Memang kenapa? Kamu ga suka?”
“Ga papa kok, tapi saya ga biasa aja.” Akhirnya aku ikut-ikutan ngomong pakai saya-kamu.
“Hahahaha… kalau kamu ga nyaman, bilang aja oke?” Katanya, mengedipkan sebelah matanya.
“Hahaha, norak! Oh iya, ada 1 hal yang mengganjal pikiran saya beberapa bulan ini. Kenapa ya, saya selalu mendapat déjà vu kalo ngeliat kamu? Kamu terlihat begitu familier buat saya…”

Ia terdiam sebentar, Nampak berpikir. Tak lama kemudian, ia kembali tersenyum, “Saya juga begitu, Kalinda. Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Entahlah.. tapi saya rasa ngga. Masa kita ketemu di mimpi?” Jawabku asal.
“Mungkin saja…” Ia menjawab sambil tersenyum misterius.
Mendegar jawabannya, aku jadi termenung sendiri juga. Apakah mungkin, kami pernah bertemu dalam mimpi? “Kamu tahu? Saya sering bermimpi aneh…”
“Seperti telepati?” Sambungnya, seperti bisa membaca pikiranku.
“Ya, kurang lebih begitu… kamu juga?”
“Ya, sering sekali. Dan setiap saya bermimpi seperti itu, selalu ada hujan di dalamnya..”

“Hujan? Aneh sekali…” Aku terheran-heran. Ahhhhh… lelaki ini memang aneh.
“Ya, mungkin karena itu saya selalu déjà vu setiap melihat kamu.” Katanya misterius.
“Mmmmm… apa hubungannya sama saya?”
“Mungkin, hujan saya itu adalah kamu hahahahaha… jawaban yang cukup asal.” Katanya sambil tertawa.
“Hei saya serius!” Aku mulai penasaran.
Ia cuma tersnyum, “Hahahaha, lupakan saja, oke?”

Ah, Ranu memang sebuah enigma. Ia adalah 1 set teka-teki yang tak berujung. Menunggu minta dipecahkan. Namun sulit sekali dimintai petunjuk. Anehnya, teka-teki itu selalu membuatku penasaran. Dan sepertinya rasa penasaran itu tak kunjung mau habis. “Jangan buat saya penasaran doooong! Ah kamu itu. Oh iya, mau naik angkot kapan, Ranu? Hehehehe.” Tiba-tiba aku tersadar bahwa dari tadi kami hanya berjalan dan belum juga naik angkot.

Ranu tersenyum lalu menutup payung. “Oh iya, saya sampai lupa. Kamu membuat saya hanyut, Kalinda.” Lagi-lagi ia membuat wajahku merona, seperti yang ia lakukan di hari pertama MOS itu.
Hujan telah berubah menjadi gerimis ketika akhirnya kami duduk di dalam angkot. Lagi, kami mengobrol tentang hal-hal kecil. Aku menceritakan masa laluku di New York dulu, dan ia menceritakan masa SMP-nya dulu. Aku juga memberitahunya betapa aku rindu New York, ketika akhirnya ia berkata, “Kalau kamu ga pindah, mungkin kita Cuma bisa bertemu dalam mimpi, Kalinda.”

“Kenapa kamu yakin banget sama mimpi itu, Ranu?”
“Karena saya tahu kamu juga mengalaminya. Kamu hanya tidak sadar.” Ah, teka-teki lain lagi…
“Kamu itu enigmatis, Ranu.” Kataku pada akhirnya, jengkel.
“Well, I am.” Ia terseyum senang, seperti merasa bangga.
Waktu pun mengalir, tak terasa sebentar lagi aku harus turun. Rumah Ranu lebih jauh, jadi ia masih harus melanjutkan perjalanan. Mengobrol dengannya benar-benar menyenangkan. Aku seperti telah mengenalnya bertahun-tahun. Aku benar-benar masuk dalam medan magnetnya, “Ah, sebentar lagi saya harus turun.” Ujarku.

“Ya, aku tahu. Oh iya, Kalinda. Dalam mimpiku, hujan itu tersenyum. Apa dalam mimpimu juga?” Ranu mulai mengajakku main tebak-tebakan lagi.
“AAAAAAAAAAAAA jangan mengajakku main tebak-tebakan terus, Ranu!” Aku jengkel.
“Hahahahaha baiklah, Kalinda. Tuh, sebentar lagi kamu harus turun, kan? Hati-hati yah?”
“Huh, iya iya. Kamu juga ya?” mau tak mau, aku tersenyum pada akhirnya.
“Hehehehe… iya. Tuh kan, tersenyum juga.” Balasnya.
“Ya, aku duluan ya..”

Bersamaan dengan itu aku turun dari angkot. Ranu tersenyum ke arahku dari dalam angkot. Ketika itu, hujan benar-benar telah berhenti. Meninggalkan langit biru yang tak berbatas. Tiba-tiba, kurasakan telepon selularku bergetar. Kulihat layarnya, ternyata dari Ranu.

Kalinda, lihatlah ke atas. Dan temukan keajaiban hujan.
Ranu


Aku menengadahkan kepalaku ke arah langit. And he was right. Di langit ada pelangi. Indah sekali. Ah, lagi-lagi, another surprise from him. Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Déjà vu, lagi. Aku teringat akan mimpiku ketika masih di New York. Dalam mimpi itu, kejadiannya persis seperti ini. Aku bertemu seorang laki-laki, dan ia memperlihatkanku pada keajaiban hujan. Dan aku tahu siapa laki-laki itu. Ia Ranu.

Hehehe… indah sekali, Ranu. Ah, akhirnya saya ingat. Hujan itu memang tersenyum pada akhirnya, Ranu. Dan saat ini, langit begitu biru.. saya harap kamu ada di sini.

Aku membalas SMS Ranu, termenung di tepi jalan. Rasanya kaki menolak untuk kugerakkan, ingin ikut menikmati pelangi yang tersenyum di langit. HP-ku bergetar lagi.

Yeah, the sky is really blue right now. And you know what? Blue is my last name hehehe. Anggaplah saya itu birunya langit. Selamat menikmati senyuman hujan, Kalinda.

Ya, senyuman hujan memang selalu luar biasa. Keajaiban yang tak akan pernah lenyap.

Terima kasih, Ranu. Saya juga lihat itu. Hati-hati di jalan, yah? :)

Kakiku tiba-tiba terasa ringan, karena aku tahu bahwa Ranu selalu ada dalam birunya langit.
Dan akupun tersenyum bersama hujan, melanjutkan perjalanan menuju rumahku.

tenggelam dalam hujan

tik tik tik...

sebuah malam yang dingin di bulan Agustus.
di luar hujan. aku sedang tiduran di kamarku saat itu. menikmati suasana hujan. aku berharap hujan terus turun. menghapus semua luka dan beban yang kurasakan. aku ingin hujan menghapus tangisku. menidurkanku dalam lagunya, membuatku terlena dalam buaiannya.
ya, hujan selalu membuatku terlena. seketika, aku pun tenggelam dalam hujan.

hujan masih terus terdengar. aku tak tahu itu mimpi atau bukan. tapi aku lihat hidup, dan ia tersenyum kepadaku. aku tak tahu itu di mana, yang bisa kulihat cuma putih. sang hidup pun memakai baju putih bersih, tampak berkilau membalut tubuhnya. ia tersenyum, memandangku lekat-lekat. seakan cuma aku satu-satunya objek yang bisa ia lihat di dunia. aku terperangah. tiba-tiba rasa marahku meluap. aku menuntut penjelasan.
"kemana saja kamu selama ini, hah?!" tuntutku tak sabar.

"aku ada di dekatmu. bahkan lebih dekat daripada yang kau tahu," hidup menjawab ringan.
"begitu? setelah semua ini kau masih bisa bilang begitu?"
hidup tetap tenang. "kamu hanya tidak sadar. dan aku hanya berubah. toh kamu sendiri yang merubahku."
"jadi kamu pikir kamu mengerti betapa beratnya semua perubahan itu bagiku?" suaraku mulai bergetar.
"kamu hanya takut dia berubah, lalu pergi, kan?" hidup tetap tersenyum, begitu tenang menjawabku yang marah.

"dia memang berubah! kamu tahu betapa aku berusaha membuatnya kembali! kamu tahu betapa kerasnya usahaku!" aku tidak terima, enak saja berkata setenang itu.
"tidak perlu takut kehilangan, tidak pelu takut akan perubahan."
air mata telah mengambang di tepi mataku. "tapi ia mungkin pergi... kamu tahu betapa beratnya itu."
"kamu tahu kan Tuhan membuat segalanya serba seimbang? jika ia pergi, kamu akan menemukan yang lain." ia tersenyum
"kalau dia mungkin pergi, mengapa Tuhan mempertemukan aku dengan dia?" air mataku mulai keluar, mengalir.

"Tuhan cuma mau kamu belajar dan dewasa. karenanya Tuhan mempertemukan kamu dengan dia, seperti Tuhan mempertemukan kita," hidup berkata simpatik, menenangkanku. kemudian ia berjalan menghampiriku, membelai rambutku.
"aku berputar seperti roda. kadang aku membuatmu ada di bawah, kadang aku membuatmu ada di atas. dan kamu tidak pernah tahu saatnya. nikmati saja, lalu bersyukur."
aku tersenyum, air mata masih tampak di ujung mataku
"kembalilah, dia menunggumu di sana," kata hidup bijak.
ia pun kembali tersenyum. lalu semua buyar.

tik tik tik tik...

di luar masih hujan. aku kembali menemukan diriku di atas tempat tidurku. tiba-tiba lagu You and Me memecah keheningan. telepon genggamku berbunyi. namanya tertera di layar. sejenak terbersit keinginan untuk mengabaikan panggilannya. namun ternyata gravitasinya terlalu besar. kusambut panggilannya.

"kenapa? tumben telepon?" sambutku dingin
"maaf..." ia berkata seakan cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutnya.
"untuk apa minta maaf? kamu bilang kamu akan pergi?"
"maaf untuk segalanya. saya tidak pergi. saya tidak akan lari."
"tak apa. bahkan jika kamu memang ingin pergi, saya ikhlas," kataku luruh.
"hehehe saya yang ga ikhlas ninggalin kamu," ada senyum di suaranya. aku mendengar suara hujan di tempatnya menelepon.
"hei, di sana hujan? kamu ada dimana?" tanyaku penasaran.
"ya, memang hujan. lihat saja ke luar jendelamu," katanya ringan

tik tik tik tik tik...

aku melihat ke luar jendela. di luar masih hujan. dan ia ada di sana. di depan pagar rumahku. ia tersenyum, secerah biasanya. amat kontras dengan hujan yang turun. berlawanan dengan malam yang perlahan bertambah ganas.

"hei.. ada apa? mau masuk?" tanyaku, terlalu terperangah untuk berpikir logis.
"jangan, kamu tidur saja. saya di sini saja. tak perlu berpikir tentang saya, oke?"
"nanti kamu sakit. setidaknya minum saja dulu," aku khawatir mendengarnya begitu santai.
"tak perlu, tidur saja, yah? saya hanya sedang menikmati hujan kok."
"dasar sok kuat," suaraku mulai bergetar menahan tangis.
"tak apa kok," ia berkata lembut.
aku menangis, lalu tersenyum. cuma 2 kata yang bisa keluar dari mulutku. "terima kasih..."
"sama-sama, hujanku. nah, sekarang tidur saja. selamat tidur, hujanku," katanya persis sama seperti waktu itu.
"ya, selamat malam," aku menutup panggilannya sambil terus melihatnya di balik jendela.

tik tik tik...
hujan perlahan berubah menjadi gerimis. malam pun semakin tua.
dan ia tetap di sana. tersenyum.

lalu aku melihatnya tenggelam dalam hujan....



bogor, 2 Agustus 2009. 15:25. hari yang amat cerah.

hujan

entah kapan,
kita akan menemukan hujan kita masing masing
hujan yang datang tanpa diduga
namun pergi dengan meninggalkan bekas, kesan, bahkan rasa
hujan yang akan mengerosi hati
perlahan namun pasti

tiap tetesnya tinggalkan rasa yang berbeda
senang, sedih, tawa, luka, bahkan sayang
tak akan bisa digambarkan dengan kata
namun selalu bisa dirasakan hati

hujan yang amat magis
bahkan lebih magis daripada sihir
menarikmu hingga tak bisa keluar dari pesonanya
hingga tawa dan tangis menjadi begitu lumrah
selumrah melihat alirannya yang menghanyutkan

hujan itu pasti akan datang, suatu saat
dan suatu saat bisa berarti setiap saat
hujan yang tak akan membuatmu takut basah
karena ia begitu berharga...

:)